Jakarta - Seorang mantan praktisi periklanan mengeluarkan kocek pribadinya untuk
mengumpulkan ribuan benda seni dan bersejarah dari seluruh dunia. Ada arca yang ditukar dengan apartemen di luar negeri, ada pula yang dibayar dengan membangun sekolah dan lapangan olahraga.
Jika saja pengunjung museum tak memegang alamat lengkap museum, atau tak diberi ancer-ancerlokasi museum, tak ada yang menyangka bahwa di daerah Kemang Timur, Jakarta Selatan, ada museum cantik yang berada di tengah kebun. Ya, di tengah deretan rumah mewah dan kafe di kawasan tersebut, berdiri sebuah museum swasta yang diberi nama apik, Museum di Tengah Kebun. Dengan penampakan luar khas rumah tinggal pada umumnya, dengan pagar kayu dan pintu kecil di tengah pagar, sulit untuk menyangka ada “harta karun” berlimpah di balik pagar tersebut.
Museum di Tengah Kebun awalnya adalah rumah pribadi Sjahrial Djalil. Dia merupakan salah satu pelopor periklanan modern di Indonesia, juga pernah mendirikan biro iklan Ad Force Inc. Sejak berusia 20-an tahun, Sjahrial sudah hobi mengoleksi arca. Hobi ini tak terbendung hingga pada usia senjanya, kini 71 tahun. Tak sadar sudah mengumpulkan 4.000 benda selama 42 tahun, rumahnya di Jalan Kemang Timur No66 yang dibelinya pada tahun 1987, lantas dijadikan museum pribadi pada 2009.
Meski begitu, Sjahrial tetap tinggal di rumah tersebut. Ada banyak alasan mengapa museum ini terpilih sebagai Museum Swasta Terbaik di Museum Awards 2013. Alasan ini, salah satunya bisa langsung pengunjung rasakan saat masuk melalui pagar utama. Melewati pintu kecil dari pagar kayu tersebut, kita akan langsung melihat sebuah jalan mirip jalan setapak dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 60 meter. Di kanan, kiri, juga tengah jalan, rumput serta tanaman hijau yang tertata rapi turut menyambut.
Udara segar, nuansa alam, serta suasana yang sepi seolah-olah membuat kita lupa bahwa ini masih di Jakarta yang bising dan berpolusi. Suasana tambah berbeda, saat di pengujung jalan, kita bertemu dengan arca Dwarapala berukuran besar yang berdiri kokoh. Alasan kedua, sebagai sosok yang kreatif, Sjahrial sepertinya tak sudi menaruh barang-barang koleksinya secara runtut dan kaku layaknya di museum konvensional.
Alih-alih, dia menaruh begitu saja koleksi benda berharganya di sembarang tempat, di meja kecil dekat pintu masuk, di dinding luar rumah, di lantai, di tengah-tengah taman, bahkan di toilet, penuh dengan benda seharga ratusan, bahkan mungkin miliaran rupiah. Sjahrial bahkan membangun rumahnya dari material berharga, misalnya engsel pintu dari penjara wanita dan batu bata berusia ratusan tahun.
Menurut Mirza Djalil, koordinator museum, sekaligus keponakan Sjahrial, yang mengajak KORAN SINDOdan rombongan berkeliling museum, dari 4.000 benda seni bersejarah yang dimiliki Sjahrial, hanya 2.414 koleksi yang dipajang dan bisa dilihat pengunjung. Seluruh koleksi tersebut tersebar di tanah seluas 4.200 meter persegi. “Koleksi didapat dari 63 negara dan 26 provinsi di Indonesia. Hasil dari keliling bumi 26 kali,” tutur Mirza. Karena museum ini adalah museum pribadi, pengunjung yang ingin datang harus melakukan reservasi terlebih dahulu, dan datang dalam bentuk rombongan, minimal 6 orang, tapi gratis.
Koleksi supermahal
Ada sekitar 17 ruangan yang dipakai untuk menaruh berbagai koleksi milik Sjahrial. Ruangan tersebut diberi nama yang berbau sejarah dan seni. Ruang Loro Blonyo misalnya, adalah area foyer dengan patung Loro Blonyo dan hiasan karpet buatan tangan dari Pakistan yang berumur satu abad. Karpet ditaruh di lantai dan bisa kita duduki. Sementara, di ruang tengah disebut Ruang Buddha. Ini adalah ruang dengan berbagai patung Buddha dari berbagai negara.
Lalu, ruang kerja dinamakan Ruang Prasejarah yang berisi koleksi dari masa Sebelum Masehi, seperti Amphora dari tahun 4800 SM. Ada pula ruang Dewi Sri, Dinasti Ming, dan Kaisar Wilhem. Banyak di antara ruang tersebut menyimpan koleksi unik dan membuat bulu kuduk bergidik karena punya nuansa mistis. Misalnya koleksi Cincin Pelacur dari abad ke-19 di China, yang menurut Mirza, di bagian belakang cincinnya mengandung obat bius yang dipakai para pelacur untuk membius para lelaki hidung belang.
Ada pula koleksi benda dari kuburan di Toraja, juga patung lelaki Sumbawa dari abad ke- 19 yang berukuran kecil dengan tinggi kurang lebih 60 cm. “Tapi kalau diangkat sangat berat,” kata Mirza. Di luar koleksi unik tersebut, ada pula beberapa koleksi arca yang nilainya mencengangkan. Misalnya Arca Bodhisatwa Wajrapani yang dibayar Sjahrial dengan menjual apartemennya di Sydney, Australia.
Ada pula patung Ganesha yang dipajang di tengah-tengah taman di dalam rumah, yang tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan membangun sekolah beserta perlengkapannya, ditambah membangun lapangan basket, lapangan voli, plus satu mobil. “Itu dibeli di Jawa. Bupatinya tidak minta uang, tapi dia minta dibangunkan fasilitasfasilitas tersebut,” imbuh Mirza. Nah yang dilakukan Sjahrial memang bisa dibilang eksentrik untuk ukuran orang Indonesia.
Dia berkeliling ke banyak tempat, jadi pelanggan setia balai lelang Christie, demi untuk mengumpulkan benda bersejarah bercita seni tinggi, dengan uang hasil jerih payah sendiri. Kadang hal ini menjadi ironis, saat dia harus pergi ke luar negeri, bersaing dengan banyak orang asing, hanya untuk membawa pulang arca atau peninggalan bersejarah yang sejatinya milik bumi Nusantara. “Bapak enggak mau menjual koleksinya ke pemerintah. Takut dijual lagi,” tutur Mirza. herita endriana.
Jika saja pengunjung museum tak memegang alamat lengkap museum, atau tak diberi ancer-ancerlokasi museum, tak ada yang menyangka bahwa di daerah Kemang Timur, Jakarta Selatan, ada museum cantik yang berada di tengah kebun. Ya, di tengah deretan rumah mewah dan kafe di kawasan tersebut, berdiri sebuah museum swasta yang diberi nama apik, Museum di Tengah Kebun. Dengan penampakan luar khas rumah tinggal pada umumnya, dengan pagar kayu dan pintu kecil di tengah pagar, sulit untuk menyangka ada “harta karun” berlimpah di balik pagar tersebut.
Museum di Tengah Kebun awalnya adalah rumah pribadi Sjahrial Djalil. Dia merupakan salah satu pelopor periklanan modern di Indonesia, juga pernah mendirikan biro iklan Ad Force Inc. Sejak berusia 20-an tahun, Sjahrial sudah hobi mengoleksi arca. Hobi ini tak terbendung hingga pada usia senjanya, kini 71 tahun. Tak sadar sudah mengumpulkan 4.000 benda selama 42 tahun, rumahnya di Jalan Kemang Timur No66 yang dibelinya pada tahun 1987, lantas dijadikan museum pribadi pada 2009.
Meski begitu, Sjahrial tetap tinggal di rumah tersebut. Ada banyak alasan mengapa museum ini terpilih sebagai Museum Swasta Terbaik di Museum Awards 2013. Alasan ini, salah satunya bisa langsung pengunjung rasakan saat masuk melalui pagar utama. Melewati pintu kecil dari pagar kayu tersebut, kita akan langsung melihat sebuah jalan mirip jalan setapak dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 60 meter. Di kanan, kiri, juga tengah jalan, rumput serta tanaman hijau yang tertata rapi turut menyambut.
Udara segar, nuansa alam, serta suasana yang sepi seolah-olah membuat kita lupa bahwa ini masih di Jakarta yang bising dan berpolusi. Suasana tambah berbeda, saat di pengujung jalan, kita bertemu dengan arca Dwarapala berukuran besar yang berdiri kokoh. Alasan kedua, sebagai sosok yang kreatif, Sjahrial sepertinya tak sudi menaruh barang-barang koleksinya secara runtut dan kaku layaknya di museum konvensional.
Alih-alih, dia menaruh begitu saja koleksi benda berharganya di sembarang tempat, di meja kecil dekat pintu masuk, di dinding luar rumah, di lantai, di tengah-tengah taman, bahkan di toilet, penuh dengan benda seharga ratusan, bahkan mungkin miliaran rupiah. Sjahrial bahkan membangun rumahnya dari material berharga, misalnya engsel pintu dari penjara wanita dan batu bata berusia ratusan tahun.
Menurut Mirza Djalil, koordinator museum, sekaligus keponakan Sjahrial, yang mengajak KORAN SINDOdan rombongan berkeliling museum, dari 4.000 benda seni bersejarah yang dimiliki Sjahrial, hanya 2.414 koleksi yang dipajang dan bisa dilihat pengunjung. Seluruh koleksi tersebut tersebar di tanah seluas 4.200 meter persegi. “Koleksi didapat dari 63 negara dan 26 provinsi di Indonesia. Hasil dari keliling bumi 26 kali,” tutur Mirza. Karena museum ini adalah museum pribadi, pengunjung yang ingin datang harus melakukan reservasi terlebih dahulu, dan datang dalam bentuk rombongan, minimal 6 orang, tapi gratis.
Koleksi supermahal
Ada sekitar 17 ruangan yang dipakai untuk menaruh berbagai koleksi milik Sjahrial. Ruangan tersebut diberi nama yang berbau sejarah dan seni. Ruang Loro Blonyo misalnya, adalah area foyer dengan patung Loro Blonyo dan hiasan karpet buatan tangan dari Pakistan yang berumur satu abad. Karpet ditaruh di lantai dan bisa kita duduki. Sementara, di ruang tengah disebut Ruang Buddha. Ini adalah ruang dengan berbagai patung Buddha dari berbagai negara.
Lalu, ruang kerja dinamakan Ruang Prasejarah yang berisi koleksi dari masa Sebelum Masehi, seperti Amphora dari tahun 4800 SM. Ada pula ruang Dewi Sri, Dinasti Ming, dan Kaisar Wilhem. Banyak di antara ruang tersebut menyimpan koleksi unik dan membuat bulu kuduk bergidik karena punya nuansa mistis. Misalnya koleksi Cincin Pelacur dari abad ke-19 di China, yang menurut Mirza, di bagian belakang cincinnya mengandung obat bius yang dipakai para pelacur untuk membius para lelaki hidung belang.
Ada pula koleksi benda dari kuburan di Toraja, juga patung lelaki Sumbawa dari abad ke- 19 yang berukuran kecil dengan tinggi kurang lebih 60 cm. “Tapi kalau diangkat sangat berat,” kata Mirza. Di luar koleksi unik tersebut, ada pula beberapa koleksi arca yang nilainya mencengangkan. Misalnya Arca Bodhisatwa Wajrapani yang dibayar Sjahrial dengan menjual apartemennya di Sydney, Australia.
Ada pula patung Ganesha yang dipajang di tengah-tengah taman di dalam rumah, yang tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan membangun sekolah beserta perlengkapannya, ditambah membangun lapangan basket, lapangan voli, plus satu mobil. “Itu dibeli di Jawa. Bupatinya tidak minta uang, tapi dia minta dibangunkan fasilitasfasilitas tersebut,” imbuh Mirza. Nah yang dilakukan Sjahrial memang bisa dibilang eksentrik untuk ukuran orang Indonesia.
Dia berkeliling ke banyak tempat, jadi pelanggan setia balai lelang Christie, demi untuk mengumpulkan benda bersejarah bercita seni tinggi, dengan uang hasil jerih payah sendiri. Kadang hal ini menjadi ironis, saat dia harus pergi ke luar negeri, bersaing dengan banyak orang asing, hanya untuk membawa pulang arca atau peninggalan bersejarah yang sejatinya milik bumi Nusantara. “Bapak enggak mau menjual koleksinya ke pemerintah. Takut dijual lagi,” tutur Mirza. herita endriana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hidup Adalah Perjuangan