Bendera GAM dan Rasa Kebangsaan
Konflik puluhan tahun di Aceh bukanlah konflik horizontal (konflik agama mau pun konflik etnis), tapi lebih merupakan konflik vertikal antara Pemerintah RI dengan GAM. Ketidakadilan selama puluhan tahun yang dirasakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang dirasa kurang memerhatikan kesejahteraan dan keadilan pembagian hasil sumber daya alam yang berhak dinikmati rakyat Aceh, serta tidak diakomodasinya aspirasi rakyat Aceh untuk membentuk sistem wilayah Aceh berdasarkan keistimewaan identitas budaya dan etos-religiusnya dengan menerapkan syariat Islam, menimbulkan kekecewaan besar yang terefleksikan melalui gerakan separatis GAM. Kebijakan pemerintah rezim orde baru yang militeristik dan mengedepankan kekerasan dengan operasi militer Daerah Operasi Militer (DOM), justru semakin membuat penderitaan rakyat Aceh.
Konflik puluhan tahun di Aceh bukanlah konflik horizontal (konflik agama mau pun konflik etnis), tapi lebih merupakan konflik vertikal antara Pemerintah RI dengan GAM. Ketidakadilan selama puluhan tahun yang dirasakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat yang dirasa kurang memerhatikan kesejahteraan dan keadilan pembagian hasil sumber daya alam yang berhak dinikmati rakyat Aceh, serta tidak diakomodasinya aspirasi rakyat Aceh untuk membentuk sistem wilayah Aceh berdasarkan keistimewaan identitas budaya dan etos-religiusnya dengan menerapkan syariat Islam, menimbulkan kekecewaan besar yang terefleksikan melalui gerakan separatis GAM. Kebijakan pemerintah rezim orde baru yang militeristik dan mengedepankan kekerasan dengan operasi militer Daerah Operasi Militer (DOM), justru semakin membuat penderitaan rakyat Aceh.
Cara diplomasi yang dikedepankan pemerintah dalam menyelesaikan
konflik Aceh dinilai langkah tepat, namun perlu diperhatikan bahwa
riwayat perundingan RI-GAM sering di warnai kegagalan. Perundingan tidak
pernah benar-benar memuaskan. Sejak 2000 sudah beberapa perundingan
digelar, tetapi malah macet di tengah jalan. Namun di sisi lain
tercapainya perdamaian dengan GAM menjadi penting terutama bila
dikaitkan dengan upaya rekontruksi Aceh pasca tsunami, meski pada pasca
bencana pun, kontak senjata antara TNI dan GAM masih berlangsung di Aceh
pada waktu itu.
Lahirnya MoU Helsinki cukup komprehensif dan kemauan politik dari kedua belah pihak cukup kuat, namun tantangannya masih benar nota kesepahaman(MoU) tersebut hanya menyebutkan penyelesaian dasar. Masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Implementasinya secara rinci juga masih belum jelas. Kesepakatan tersebut banyak melibatkan masyarakat sipil dan element masyarakat lainnya yang mewakili untuk berkontribusi. Ternyata masih dapat kesenjangan besar antara pandangan di Jakarta, Helsinki dan Banda Aceh serta kenyataan di lapangan.
Konflik Aceh dan Dinamika Internasional
Seperti halnya konflik yang terjadi dimana pun juga, konflik internal di Aceh memiliki dampak serius terhadap masalah kemanusian dan mendapatkan perhatian Internasional. Mereka yang menjadi korban sebagian besar bukanlah mereka yang terlibat secara langsung dalam konflik melainkan warga sipil. Konflik juga menimbulkan masalah pengungsi. Masyarakat Internasional melalui berbagai organisasi internasional seperti UNHCR, ICRC, WHO, sampai dewan keamanan PBB memberikan perhatian terhadap konflik Aceh. Pada 2003, PBB pada waktu itu menganggarkan dana kemanusia untuk Aceh sebesar US$55 juta. Dana bantuan kemanusian juga diberikan oleh pihak-pihak lain, seperti Jepang, Uni Eropa, dan Bank Dunia.
Pasca orde baru, salah satu dampak reformasi adalah terjadi pembatasan peran pemerintah yang dominan dalam politik. Hal ini juga membawa dampak terhadap Aceh juga, Status DOM dicabut pada 7 Agustus 1998, dan kasus-kasus pelanggaran HAM terungkap di publik sebagai bagian dari kejahatan politik dan kejahatan terhadap HAM yang dilakukan rezim orba. Tetapi disayangkan pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap korban DOM dan anggota keluarganya.
Pada perkembangan konflik Aceh menjadi isu yang terinternasionalisasi, terutama ketika terungkapnya ribuan penduduk sipil Aceh yang menjadi korban selama diberlakukan DOM di Aceh. Berbagai NGOs internasional terlibat dalam penyelesaian konflik Aceh. Salah satunya Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) yang terbentuk pada 1999. Dimana Presiden Abdulrahman Wahid pada 30 januari 2000, meminta kesedian HDC untuk berperan sebagai penegah dalam proses perundingan. Perundingan tersebut menghasilkan joint understanding of Humanitarian Pause for Aceh yang di tandatangani pada 12 mei 2000 dan berakhir 15 Januari 2001.
Harapan dan Tantangan
Dalam jumpa Pers di Kompleks Istana Presiden, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pemimpin di eksekusif, legislatif, dan yudikatif Aceh untuk menjaga pencapaian perdamaian di Aceh tahun 2005. Untuk itu, Presiden berharap agar masalah yang ada, terutama terkait lambang dan bendera Aceh, diselesaikan dengan baik sesuai aturan yang ada. "Jangan ada masalah-masalah baru yang kembali ke masa konflik dulu...Tsunami yang merenggut korban jiwa sangat besar menjadi salah satu faktor yang memotivasi semua pihak untuk mengakhiri konflik. Aceh kemudian membangun masa depannya dengan baik dalam kesatuan NKRI. Itu sejarah, presiden menambahkan, agenda dan fokus Pemerintah Aceh dan pusat adalah membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh seperti dilakukan daerah lain. Presiden tidak ingin agar masalah lambang dan bendera Aceh ditarik ke ranah politik lantaran merupakan ranah hukum. Saya tidak ingin kita mundur ke belakang dan saya tidak ingin ada masalah-masalah baru yang sebenarnya tidak diperlukan. Kita harus bersatu dan bersama-sama menyelesaikan pembangunan di Aceh menuju kehidupan masyarakat Aceh yang aman, tenteram, dan damai. Lebih spesifik lagi sejahtera.
Sedangkan Kementerian Dalam Negeri memberikan kesempatan selama 15 hari kepada Pemprov Aceh serta DPR Aceh untuk mempelajari hasil klarifikasi Mendagri terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Intinya, bendera dan lambang Aceh mesti diubah lantaran mirip lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lantaran pada itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso meminta seluruh musyawarah pimpinan daerah (Muspida) Aceh kembali merembuk terkait pengesahan qanun tentang lambang dan bendera Aceh yang disebut mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh, disebut Priyo, merupakan daerah istimewa tapi tetap harus tunduk pada aturan perundang-undangan.
Lahirnya MoU Helsinki cukup komprehensif dan kemauan politik dari kedua belah pihak cukup kuat, namun tantangannya masih benar nota kesepahaman(MoU) tersebut hanya menyebutkan penyelesaian dasar. Masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Implementasinya secara rinci juga masih belum jelas. Kesepakatan tersebut banyak melibatkan masyarakat sipil dan element masyarakat lainnya yang mewakili untuk berkontribusi. Ternyata masih dapat kesenjangan besar antara pandangan di Jakarta, Helsinki dan Banda Aceh serta kenyataan di lapangan.
Konflik Aceh dan Dinamika Internasional
Seperti halnya konflik yang terjadi dimana pun juga, konflik internal di Aceh memiliki dampak serius terhadap masalah kemanusian dan mendapatkan perhatian Internasional. Mereka yang menjadi korban sebagian besar bukanlah mereka yang terlibat secara langsung dalam konflik melainkan warga sipil. Konflik juga menimbulkan masalah pengungsi. Masyarakat Internasional melalui berbagai organisasi internasional seperti UNHCR, ICRC, WHO, sampai dewan keamanan PBB memberikan perhatian terhadap konflik Aceh. Pada 2003, PBB pada waktu itu menganggarkan dana kemanusia untuk Aceh sebesar US$55 juta. Dana bantuan kemanusian juga diberikan oleh pihak-pihak lain, seperti Jepang, Uni Eropa, dan Bank Dunia.
Pasca orde baru, salah satu dampak reformasi adalah terjadi pembatasan peran pemerintah yang dominan dalam politik. Hal ini juga membawa dampak terhadap Aceh juga, Status DOM dicabut pada 7 Agustus 1998, dan kasus-kasus pelanggaran HAM terungkap di publik sebagai bagian dari kejahatan politik dan kejahatan terhadap HAM yang dilakukan rezim orba. Tetapi disayangkan pemerintah tidak memberikan perhatian yang serius terhadap korban DOM dan anggota keluarganya.
Pada perkembangan konflik Aceh menjadi isu yang terinternasionalisasi, terutama ketika terungkapnya ribuan penduduk sipil Aceh yang menjadi korban selama diberlakukan DOM di Aceh. Berbagai NGOs internasional terlibat dalam penyelesaian konflik Aceh. Salah satunya Henry Dunant Center for Humanitarian (HDC) yang terbentuk pada 1999. Dimana Presiden Abdulrahman Wahid pada 30 januari 2000, meminta kesedian HDC untuk berperan sebagai penegah dalam proses perundingan. Perundingan tersebut menghasilkan joint understanding of Humanitarian Pause for Aceh yang di tandatangani pada 12 mei 2000 dan berakhir 15 Januari 2001.
Harapan dan Tantangan
Dalam jumpa Pers di Kompleks Istana Presiden, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pemimpin di eksekusif, legislatif, dan yudikatif Aceh untuk menjaga pencapaian perdamaian di Aceh tahun 2005. Untuk itu, Presiden berharap agar masalah yang ada, terutama terkait lambang dan bendera Aceh, diselesaikan dengan baik sesuai aturan yang ada. "Jangan ada masalah-masalah baru yang kembali ke masa konflik dulu...Tsunami yang merenggut korban jiwa sangat besar menjadi salah satu faktor yang memotivasi semua pihak untuk mengakhiri konflik. Aceh kemudian membangun masa depannya dengan baik dalam kesatuan NKRI. Itu sejarah, presiden menambahkan, agenda dan fokus Pemerintah Aceh dan pusat adalah membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh seperti dilakukan daerah lain. Presiden tidak ingin agar masalah lambang dan bendera Aceh ditarik ke ranah politik lantaran merupakan ranah hukum. Saya tidak ingin kita mundur ke belakang dan saya tidak ingin ada masalah-masalah baru yang sebenarnya tidak diperlukan. Kita harus bersatu dan bersama-sama menyelesaikan pembangunan di Aceh menuju kehidupan masyarakat Aceh yang aman, tenteram, dan damai. Lebih spesifik lagi sejahtera.
Sedangkan Kementerian Dalam Negeri memberikan kesempatan selama 15 hari kepada Pemprov Aceh serta DPR Aceh untuk mempelajari hasil klarifikasi Mendagri terhadap Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh. Intinya, bendera dan lambang Aceh mesti diubah lantaran mirip lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lantaran pada itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso meminta seluruh musyawarah pimpinan daerah (Muspida) Aceh kembali merembuk terkait pengesahan qanun tentang lambang dan bendera Aceh yang disebut mirip dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aceh, disebut Priyo, merupakan daerah istimewa tapi tetap harus tunduk pada aturan perundang-undangan.
Selain dari pada itu anggota Dewan Pakar Pembela Kesatuan Tanah Air
(PEKAT) Cut Justisia mengatakan, Perjanjian Helsinki yang dibuat antara
Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah
bentuk kemerdekaan secara de facto yang diberikan kepada Aceh.
Pemerintah diharapkan mampu memahami isi dari perjanjian tersebut. Jika
tidak, hal ini dikhawatirkan akan menelurkan gerakan-gerakan separatis
lain yang justru akan memecah-belah kesatuan negara. Di dalam isi
perjanjian itu Aceh bisa membuat partai sendiri, mata uang, bahkan bisa
melakukan perdagangan internasional sendiri. Itu artinya Aceh sudah
berdaulat secara de facto. Menurut Justiani, meski saat ini Aceh masih
belum membuat mata uangnya sendiri, akan tetapi pergerakan menuju
kemerdekaan Aceh sudah mulai ditunjukkan. Hal itu di perlihatkan dengan
adanya pengibaran bendera di sejumlah wilayah di Aceh. Bendera dan mata
uang sebenarnya adalah hal yang sama. Itu adalah simbol suatu negara.
Seharusnya pemerintah itu sadar karena apa yang terjadi di Aceh juga
bisa terjadi di wilayah lain. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PEKAT
Bob Hasan beranggapan, pembentukan bendera Aceh telah melanggar
konstitusi negara. Apalagi mereka menaikkan bendera itu diiringi dengan
kumandang adzan, itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap
konstitusi. Hasan menilai, pengibaran bendera yang lalu sarat dengan
adanya intervensi pihak asing.
Lantas dari pada itu Mantan Wapres Jusuf
Kalla juga menyampaikan argumen, tidak ada alasan jika ada pihak yang
mengatakan bendera Aceh tidak melanggar Perjanjian Helsinki karena
diperjanjian tersebut terdapat butir-butir yang melarang penggunaan
simbol-simbol GAM. Di Perjanjian Helsinki, ada pasal yang mengatakan GAM
tidak boleh lagi menggunakan emblem-emblem dan simbol-simbolnya. GAM
saja tidak boleh, Jusuf Kalla menyarankan, terkait polemik hal ini,
sebaiknya ada pejabat dari pemerintah pusat yang berkunjung ke Aceh. Hal
itu juga untuk mencegah terjadinya perpecahan di tengah masyarakat Aceh
karena ada masyarakat yang mengibarkan bendera namun ada juga yang
menolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hidup Adalah Perjuangan