Catatan pahit dalam perjalanan kehidupan Bangsa kita ini adalah terlihat dari tingkat kemiskinan
yang kian menjadi-jadi sejak krisis multidimensional yang terjadi pada
tahun 1997. Dimana hampir menyentuh seluruh sektor kehidupan manusia
khususnya pada rakyat yang saat itu sedang berada pada kondisi ekonomi
menengah kebawah. Imbasnya mereka semakin terpuruk, tertatih-tatih dalam
membiayai kebutuhan hidup mereka. Mulai dari biaya kesehatan sampai
dengan biaya pendidikan anak, ironisnya lagi, Ini terjadi hampir di
tiap-tiap penjuru Negeri pertiwi tercinta ini yang di klaim memiliki
sumber daya alam yang melimpah, namun tidak jarang kita masih menjumpai
pemukiman kumuh dan kondisi kemiskinan yang solid pada lokasi tertentu,
keadaan ini seolah-olah seperti menjadi budaya kultural Bangsa kita yang
tidak dapat dihilangkan seiring dengan waktu berjalan.
Banyaknya program-program Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan
seolah-olah hanya hembusan angin saja yang seketika berlalu dimakan
waktu, karena samapi saat ini kemiskinan seolah-olah telah megnunci
rakyat dengan gembok yang terbuat dari beberapa lapis baja sehingga
sulit membuka gembok baja tersebut.
Salah satu contoh nyata yang kita lihat adalah Kondisi di Kecamatan
Mariso kelurahan Lette, Sulawesi- Selatan , dimana masyarakat di sana
mayoritas bekerja pada wilayah informal. Data terakhir Kota Makassar di
rilis Badan Pusat Statistic Kota Makassar pada tahun 2010 sebesar 62.000
jiwa. Realitas ini berkaitan langsung dengan kondisi masyarakat .
Dengan rendahnya pengetahuan, daya beli, rendahnya informasi, pendapatan
rendah. Terlepas dari itu semua, era globalisasi telah mencipatakan
kompetisi ekonomi yang super ketat. gambaran perheletan ekonomi di
bangsa ini adalah Siapa yang lemah akan tersingkir dan yang kuat akan
terus bisa bertahan dalam menghadapi semakin kerasnya kehidupan.
Tentunya masyarakat pelaku ekonomi informal atau lebih kerennya kita
sebut dengan pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) jelas tidak mampu
membendung dinamika tersebut. Dengan kondisi produksi rendah, modal
kecil, maka otomatis kondisi mereka kian terpuruk pada lingkaran
kemiskinan.
Menurut Korten (1984), masa pasca industry akan menghadapi
kondisi-kondisi baru yang sama sekali berbeda dengan kondisi di masa
industry, dimana potensi-potensi baru penting dewasa ini memperkokoh
kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian umat manusia. Titik pusat
perhatiannya adalah ke arah pembangunan yang lebih berpihak kepada
rakyat. Logika paradigma ini yang menonjol adalah logika lingkungan
hidup manusia yang berimbang, sumber dayanya yang dominan adalah sumber
daya informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak kunjung habis ; dan
sasarannya yang dominan adalah pertumbuhan umat manusia yang di rumuskan
dalam rangka lebih terealisasinya potensi umat manusia, Individu
bukanlah sebagai obyek, melainkan berperan sebagai pelaku, yang
menentukan tujuan, mengontrol sumber daya, dan mengarahkan proses yang
mempengaruhi hidupnya sendiri.
Kesejahteraan dan realisasi diri manusia merupakan jantung konsep
pembangunan yang memihak rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Perasaan
berharga diri yang di turunkan dari keikutsertaan dalam kegiatan
produksi adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi
dengan keikutsertaan dalam komsumsi produknya. Keefisienan system
produksi, karenanya haruslah tidak semata-mata dinilai berdasar
produk-produknya, melainkan juga berdasar mutu kerja sebagai sumber
penghidupan yang di sediakan bagi para pesertanya, dan berdasar
kemampuaannya menyertakan segenap anggota masyarakat. Salah satu
perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan pembangunan
yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus
menerus menundukkan kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan system agar
system produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten,1984).
Paradigma pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat mengandung arti
penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi. Pemahaman akan
paradigma itu penting artinya bagi pemilihan tehnik sosial termasuk
bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan secara tepat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang memengtingkan rakyat.
Penyadaran diri merupakan satu di antara argument-argumen yang paling
telak dan tajam diajukan oleh Freire (1984), adalah merupakan inti dari
usaha bagaimana bisa mengangkat rakyat dari kelemahaannya selama ini.
Kesempitan pandangan dan cakrawala masyarakat yang tersekap dalam
kemiskinan dan kelemahan lainnya harus di ubah kearah suatu keinsyafan,
perasaan, pemikiran, gagasan, bahwa hal-ihwal tersebut dapat menjadi
lain, dan pasti tersedia alternatif-alternatif untuk mengatasinya.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan teknik-teknik
pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran
masyarakat. Menurut Sikhondze (1999), orientasi pemberdayaan masyarakat
haruslah membantu masyarakat agar mampu mengembangkan diri atas dasar
inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang
pendekatan metodenya beriorentasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan
hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun
kelompok. Peran petugas pemberdayaan masyarakat sebagai outsider people
dapat di bedakan menjadi 3 bagian yaitu : peran konsultan, peran
pembimbingan dan peran penyampai informasi. Dengan demikian peran serta
kelompok sasaran (masyarakat itu sendiri ) menjadi sangat dominan.
Pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) kian mendapatkan masalah dengan
diperhadapkannya dengan sistem kredit yang birokrasinya bertele-tele
pada lembaga pembiayaan seperti bank dan koperasi. Serta menuntut
persyaratan dimana pelaku usaha kecil tidak mampu memenuhinya di
karenakan kondisi mereka dibawah garis kemiskinan dan diskriminasi oleh
birokrasi pemerintahan yang pada akhirnya, mereka enggan bersentuhan
langsung dengan pelayanan pemerintah. Dengan demikian di harapakan
lahirnya suatu lembaga stakeholder yang memiliki kepekaan sosial guna
mendorong pelaku UKM, menuju tingkat kesejahteraan dan kemandirian dalam
menjalankan usaha.
Penerapan kredit mikro berbasis sosial sekiranya menjadi jawaban akan
kondisi pelaku UKM, dalam mengembangkan usahanya yang tentunya kredit
mikro berbasis sosial memberi etos kemudahan dalam mendapatkan kredit
usaha serta adanya prinsip-prinsip dasar dari stakeholder. Untuk
kemudian menanamkan mekanisme pemberdayaan rakyat pada kredit mikro
berbasis sosial. Dengan harapan pengelolaan secara partisipatif serta
profesional dan tepat sasaran dengan pengawalan yang intensif guna mencapai kemaksimalan, dalam memberdayakan usaha kecil menengah lewat kredit mikro berbasis sosial.
Tidak adanya perhatian serius pemerintah terhadap pelaku UKM, berdampak
pada kondisi mereka yang tetap stagnan pada kondisi tidak mampu
mengembangkan usaha mereka, serta tidak adanya ruang usaha pada level
UKM, mengakibatkan kondisi mereka butuh sentuhan kreatif dari
stakeholder dalam mengeksekusi pelaku UKM, mencapai kesejahteraan dan
keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kunci dalam menjalankan Kredit usaha mikro adalah belajar dari
masyarakat, pendamping sebagai fasiltator dan teman sehingga tercipta
saling belajar dan berbagai pengalaman. Maka dari itu semua realitas
tersebut menjadi kebutuhan mendesak pelaku usaha kecil menengah yang ada
di Negara kita ini agar dapat direalisasikan dalam meminimalisir
tingkat kemiskinan di Negara ini yang kian menjadi-jadi. Oleh karena itu
Pemerintah bisa menerapkan kredit usaha mikro demi kesejahteraan rakyat
yang pada akhirnya dapat mengatasi kemiskinan Negara ini sehingga
dimasa mendatang bangsa ini tidak menjadi sarang kemiskinan dan
kebobrokan tingkat sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hidup Adalah Perjuangan